USUL FIQH
By at 11 February, 2009, 10:49 am
Muthlaq dan Muqayyad (1)
Dr. H Afifi Fauzi Abbas, M.A.
Kerangka dasar pemikiran keagamaan Muhammadiyah adalah ar-ruju’ ila Al-Qur’an wa As-Sunnah al-Maqbulah dan tajdid ad-din. Kerangka dasar tersebut perlu dikembangkan dalam metodologi dan manhaj yang konkret dalam perkembangan pemikiran Muhammadiyah.
Lafal-lafal Al-Qur’an dan As-Sunnah mengandung arti dan maksud tertentu dari syari’, di mana para ulama berusaha menggali dan mencari tahu akan maksud yang sebenarnya. Salah satu upaya para ulama menggali hukum yang dimaksud adalah dengan memahami lafal-lafal atau ungkapan-ungkapan yang terdapat dalam nash-nash tersebut.
Dalam memahami nash dan mengistin-bathkan hukum, pendekatan kebahasaan mutlak diperlukan sebagai langkah awal berijtihad. Pendekatan kebahasaan akan mampu menuntun mujtahid dalam upaya menghindari kesalahan metodologis dalam berijtihad.
Problematikanya muncul ketika upaya untuk kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah tersebut diimplen-tasikan dalam kehidupan sehari-hari. Banyak cara, metode, atau pendekatan yang dapat dilakukan untuk memahami, memaknai Al-Qur’an dan As-Sunnah. Di antaranya adalah dengan cara tekstual/longitudinal/tahlily dan kontekstual/tematik. Coraknya juga banyak; ada tafsir filologis (yang menggunakan ilmu-ilmu linguistik, filologi, sintaksis, semiotik, stilistik, retorika sebagai perangkat pendukung untuk memaknai Al-Qur’an dan As-Sunnah), tafsir ahkam (tafsir eksoterikmengambil pengetahuan dari teks berupa kualifikasi-kualifikasi hukum), tafsir historis (tafsir bir-riwayah/bil-ma’tsur), tafsir teologis (dilakukan untuk memperkuat opini-opini doktrinal dari aliran-aliran teologi), tafsir filosofis (tafsir mistis dengan menggunakan ta’wil esoteris), tafsir mistis (tafsir esoteris), tafsir ilmy (ilmiyah), tafsir estetik (metafor) dan lain-lain. Di samping itu semua, ada juga beberapa pendekatan yang dapat dilakukan untuk memaknai teks-teks Al-Qur’an dan As-Sunnah, yaitu ada pendekatan bayani, burhani, dan irfany.
Sebagai gerakan dakwah dan tajdid fil Islam, Muhammadiyah selalu menjadikan Islam yang bersumber pada Al-Qur’an dan As-Sunnah Al-Maqbulah sebagai titik tolak pergerakannya, dan menjadikannya sebagai tolok-ukur untuk melihat perjalanan dari hasil kerjanya. Namun, dalam perjalanan sejarahnya, pola tersebut semakin sulit untuk dipertahankan, karena ada kecende-rungan nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah Al-Maqbulah hanya dipahami secara tekstual, sehingga tidak lagi memadai untuk merespon perkembang-an peradaban manusia. Wacana tentang ini bahkan sangat marak saat ini di kalangan AMM (Angkatan Muda Muhammadiyah), dan kecendrungan ini tentu saja ada positifnya, di samping juga banyak negatifnya. Di sinilah pentingnya manhaj/qaidah yang dapat dijadikan acuan bersamadikenal dengan manhaj/qaidah Majelis Tarjih.
Secara ideal, qaidah Majelis Tarjih berguna untuk menyamakan prinsip dan pandangan di kalangan ulama Muham-ma-diyah dalam soal pendekatan dan metode kajian. Keperluannya sekurang-kurangnya ada dua, pertama: untuk menyatukan pandangan tentang metode analisis, sehingga dapat dijadikan acuan bersama dalam proses kajian di ling-kungan Muhammadiyah. Kedua, menyamakan prinsip dan pandangan di kalangan warga persyarikatan dalam soal pendekatan/metode kajian sehingga jika terdapat perbedaan tidak lagi pada hal-hal yang mendasar, akan tetapi pada ketajaman dan keseksamaan dalam proses analisis-nya. Kaidah tersebut secara praktis digunakan sebagai acuan dalam proses kajian dan analisis bagi Majelis Tarjih.
Pada pendekatan bayani yang merupakan studi filosofis terhadap sistem bangunan pengetahuan yang menempatkan teks (wahyu) sebagai suatu kebenaran mutlak. Metode ini bertumpu pada pemahaman makna lafal sebagai bahan perumusan pesan-pesan yang dikemukakan suatu lafal. Secara umum metode analisis bayani ada empat macam:
1. Dilihat dari perspektif kedu-du-kan lafal (al-wad’). Metode analisis ini sesuai bentuk dan cakupan maknanya. Berkaitan dengan ini, Muhammadiyah menggunakan analisis lafal amar dan nahy, am dan khas, muthlaq dan muqayyad, serta lafal musytarak.
2. Dilihat dari perspektif peng-gunaan lafal (al-isti’mal). Me-tode analisis ini sesuai de-ngan maksud pembicara dalam me-nyam-paikan pembi-cara-an-nya. Berkaitan dengan ini, Muham-madiyah menggunakan kaidah analisis haqiqy dan majazy, sharih dan kinayah.
3. Dilihat dari perspektif derajat kejelasan suatu lafal (darajah al-wudluh). Muhammadiyah menggunakan analisis wadhih dan mubham, muhkam dan mutasyabih, mujmal dan mufas-sar, zahir dan khafy.
4. Dilihat dari perspektif dalalah (kandungan makna) suatu lafal (thariqah al-dalalah). Muham-madiyah menggunakan analisis dengan melihat konteks; sehing-ga dapat dibedakan menjadi: dilalah al-ibarah, dilalah al-isyarah, dilalah an-nash dan dilalah al-iqtidla’.
Bagi Muhammadiyah, pendekatan bayani ini tetap sangat diperlukan dalam rangka komitmennya yang konsisten kepada teks, yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah al-Maqbulah, meskipun tidak harus berlebihan.
Pada tulisan-tulisan tentang manhaj tarjih terdahulu, penulis telah berupaya mengemukakan tentang; amar dan nahyi, ‘am dan khash, maka pada kali ini penulis mencoba menjelaskan ten-tang al-muthlaq dan al-muqayyad. Dan muthlaq wal muqayad merupakan salah satu metode dalam rangka menggali hukum yang telah disepakati oleh ulama
Pengertian al-Muthlaq dan al-Muqayyad
Muthlaq berarti umum, tidak terikat (Ahmad Warson Munawir, Kamus Arab Indonesia: 862), sedangkan secara difinitif ada beberapa definisi yang dita-war-kan oleh para ulama Ushuliyyun. Misal-nya Muhammad Khudarî Bek mem-berikan difinisi: “Muthlak adalah lafaz yang memberi petunjuk terhadap satu atau beberapa satuan yang mencakup tanpa ikatan yang terpisah secara lafzi.”
“Tidak ada nikah melainkan dengan wali dan dua orang saksi yang adil”
(HR. Al-Bayhaqi).
Sedang Al-Amidi (w. 631 H) mendefi-nisikannya sebagai berikut: “Lafaz yang memberi petunjuk kepada yang diberi petunjuk (madlul) yang mencakup dalam jenisnya.” Ibn Subki (w. 771 H) mendifinisikannya sebagai berikut: “Muthlak adalah lafaz yang memberi petunjuk kepada hakikat sesuatu tan-pa ada ikatan apa-apa.”
Meskipun para ulama ushul fiqih mendefinisikan konsep muthlaq dengan berbeda-beda, namun pada intinya mere-ka sepakat untuk menyatakan bah-wa muth-laq itu ialah penunjukan lafal ter-hadap suatu entitas, sebagaimana ada-nya, yakni menunjuk kepada satuan yang ter-sebar pada jenisnya, tidak dilekati se-cara lafzhiy dengan qayd yang memba-tasi ketersebarannya (A. Wahâb Abdus Salâm Thawîlah, Atsar al-Lughah fî Ikhtilâf al-Mujtahidîn: 409).
Contohnya, lafal raqabah dalam surat Al-Mujaadalah [58] ayat 3: “Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, ke-mudian mereka hendak menarik kem-bali apa yang mereka ucapkan, ma-ka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah, yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Ma-ha Mengetahui apa yang kamu kerja-kan.”
Dan juga lafal waliy dalam Hadits: “Tidak ada nikah melainkan dengan wali dan dua orang saksi yang adil” (HR. Al-Bayhaqi).
Lafal raqabah dan waliy itu disebut secara ithlâq (lafaz muthlaq); di samping mencakup entitas (afrâd)-nya yang banyak masing-masing menunjuk kepada satu raqabah yang tidak tertentu di antara berbagai jenis raqabah dan satu wali yang tidak tertentu di antara berbagai jenis wali.
Lafal muthlaq dari segi meliputi sejumlah afrâd-nya, adalah sama dengan lafal ‘âm, namun antara keduanya terda-pat perbedaan yang signifikan. Lafal ‘âm itu umumnya bersifat syumuli (meling-kupi), sedangkan keumumam lafal muth-laq bersifat badali (meng-ganti). Umum yang bersifat syumuli itu adalah kulli (ke-seluruhan) yang berlaku atas semua satu-an, sedangkan ‘âm badali adalah kulli da-ri segi tidak terha-lang untuk menggam-barkan terja-dinya kebersamaan, tapi tidak meng-gambarkan setiap satuan-satuan, ha-nya meng-gambarkan satuan yang me-liputi.
Para ulama usul fiqih juga mendi-fini-sikan konsep muqayyad (yang di-ikatkan pada sesuatu) dengan ber-beda-beda, yang pada intinya ialah penun-jukan lafal ter-hadap suatu entitas yang dilekati atri-but tertentu yang mengurangi jangkauan ketersebarannya atau terha-dap suatu enti-tas yang terbatas. Con-toh–nya lafal ra-qabah mu’minah dalam surat An-Nisa [4] ayat 92; di mana kata raqabah dilekati de-ngan atribut mu’-minah, sehingga yang dituntut ialah pembebasan raqa-bah mu’minah (budak yang muk-min), bukan semba-rang raqabah (budak).
Contoh lainnya, lafal syahraini mutatabi’aini (dua bulan berturut-turut) dalam surat An-Nisaa’ [4] ayat 92; di mana kata syahraini (dua bulan) dilekati dengan atribut muta-tabi’aini (berturut-turut). sehingga, yang dituntut ialah berpuasa syahraini mutatabi’aini (dua bulan ber-turut-turut), bukan sembarang puasa dua bulan semata (syahraini) (Mustafâ Said Al-Khîn, Atsar Ikhtilâf fî al-Qawâid al-Ushûliyyah ala Ikhtilâf al-Fukahâ’: 248).
Sedangkan at-taqyîd adalah suatu upa-ya memahami makna ungkapan muth-laq dalam suatu nash dengan meng–hubungkannya kepada ungkapan mu-qay-yad pada nash lain. Qayyîd itu ada yang berbentuk sifat seperti contoh bu-dak mukmin, dan juga qayyîd dalam ben-tuk syarat, seperti contoh puasa dua bu-lan berturut-turut.
Perbedaan antara muthlaq dan mu-qay–yad itu adalah, bahwa muthlaq me-nunjuk kepada hakikat sesuatu tanpa ada suatu keterangan yang mengikatnya dan tanpa memerhatikan satuan serta jum-lah. Sedangkan, muqayyad menun-juk kepada hakikat sesuatu tetapi mem-per-hatikan beberapa hal, baik jum-lah, atau sifat dan keadaan. Hal, sifat, kea-da-an atau jumlah itulah yang disebut de-ngan qayyîd.?
By at 11 February, 2009, 10:49 am
Muthlaq dan Muqayyad (1)
Dr. H Afifi Fauzi Abbas, M.A.
Kerangka dasar pemikiran keagamaan Muhammadiyah adalah ar-ruju’ ila Al-Qur’an wa As-Sunnah al-Maqbulah dan tajdid ad-din. Kerangka dasar tersebut perlu dikembangkan dalam metodologi dan manhaj yang konkret dalam perkembangan pemikiran Muhammadiyah.
Lafal-lafal Al-Qur’an dan As-Sunnah mengandung arti dan maksud tertentu dari syari’, di mana para ulama berusaha menggali dan mencari tahu akan maksud yang sebenarnya. Salah satu upaya para ulama menggali hukum yang dimaksud adalah dengan memahami lafal-lafal atau ungkapan-ungkapan yang terdapat dalam nash-nash tersebut.
Dalam memahami nash dan mengistin-bathkan hukum, pendekatan kebahasaan mutlak diperlukan sebagai langkah awal berijtihad. Pendekatan kebahasaan akan mampu menuntun mujtahid dalam upaya menghindari kesalahan metodologis dalam berijtihad.
Problematikanya muncul ketika upaya untuk kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah tersebut diimplen-tasikan dalam kehidupan sehari-hari. Banyak cara, metode, atau pendekatan yang dapat dilakukan untuk memahami, memaknai Al-Qur’an dan As-Sunnah. Di antaranya adalah dengan cara tekstual/longitudinal/tahlily dan kontekstual/tematik. Coraknya juga banyak; ada tafsir filologis (yang menggunakan ilmu-ilmu linguistik, filologi, sintaksis, semiotik, stilistik, retorika sebagai perangkat pendukung untuk memaknai Al-Qur’an dan As-Sunnah), tafsir ahkam (tafsir eksoterikmengambil pengetahuan dari teks berupa kualifikasi-kualifikasi hukum), tafsir historis (tafsir bir-riwayah/bil-ma’tsur), tafsir teologis (dilakukan untuk memperkuat opini-opini doktrinal dari aliran-aliran teologi), tafsir filosofis (tafsir mistis dengan menggunakan ta’wil esoteris), tafsir mistis (tafsir esoteris), tafsir ilmy (ilmiyah), tafsir estetik (metafor) dan lain-lain. Di samping itu semua, ada juga beberapa pendekatan yang dapat dilakukan untuk memaknai teks-teks Al-Qur’an dan As-Sunnah, yaitu ada pendekatan bayani, burhani, dan irfany.
Sebagai gerakan dakwah dan tajdid fil Islam, Muhammadiyah selalu menjadikan Islam yang bersumber pada Al-Qur’an dan As-Sunnah Al-Maqbulah sebagai titik tolak pergerakannya, dan menjadikannya sebagai tolok-ukur untuk melihat perjalanan dari hasil kerjanya. Namun, dalam perjalanan sejarahnya, pola tersebut semakin sulit untuk dipertahankan, karena ada kecende-rungan nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah Al-Maqbulah hanya dipahami secara tekstual, sehingga tidak lagi memadai untuk merespon perkembang-an peradaban manusia. Wacana tentang ini bahkan sangat marak saat ini di kalangan AMM (Angkatan Muda Muhammadiyah), dan kecendrungan ini tentu saja ada positifnya, di samping juga banyak negatifnya. Di sinilah pentingnya manhaj/qaidah yang dapat dijadikan acuan bersamadikenal dengan manhaj/qaidah Majelis Tarjih.
Secara ideal, qaidah Majelis Tarjih berguna untuk menyamakan prinsip dan pandangan di kalangan ulama Muham-ma-diyah dalam soal pendekatan dan metode kajian. Keperluannya sekurang-kurangnya ada dua, pertama: untuk menyatukan pandangan tentang metode analisis, sehingga dapat dijadikan acuan bersama dalam proses kajian di ling-kungan Muhammadiyah. Kedua, menyamakan prinsip dan pandangan di kalangan warga persyarikatan dalam soal pendekatan/metode kajian sehingga jika terdapat perbedaan tidak lagi pada hal-hal yang mendasar, akan tetapi pada ketajaman dan keseksamaan dalam proses analisis-nya. Kaidah tersebut secara praktis digunakan sebagai acuan dalam proses kajian dan analisis bagi Majelis Tarjih.
Pada pendekatan bayani yang merupakan studi filosofis terhadap sistem bangunan pengetahuan yang menempatkan teks (wahyu) sebagai suatu kebenaran mutlak. Metode ini bertumpu pada pemahaman makna lafal sebagai bahan perumusan pesan-pesan yang dikemukakan suatu lafal. Secara umum metode analisis bayani ada empat macam:
1. Dilihat dari perspektif kedu-du-kan lafal (al-wad’). Metode analisis ini sesuai bentuk dan cakupan maknanya. Berkaitan dengan ini, Muhammadiyah menggunakan analisis lafal amar dan nahy, am dan khas, muthlaq dan muqayyad, serta lafal musytarak.
2. Dilihat dari perspektif peng-gunaan lafal (al-isti’mal). Me-tode analisis ini sesuai de-ngan maksud pembicara dalam me-nyam-paikan pembi-cara-an-nya. Berkaitan dengan ini, Muham-madiyah menggunakan kaidah analisis haqiqy dan majazy, sharih dan kinayah.
3. Dilihat dari perspektif derajat kejelasan suatu lafal (darajah al-wudluh). Muhammadiyah menggunakan analisis wadhih dan mubham, muhkam dan mutasyabih, mujmal dan mufas-sar, zahir dan khafy.
4. Dilihat dari perspektif dalalah (kandungan makna) suatu lafal (thariqah al-dalalah). Muham-madiyah menggunakan analisis dengan melihat konteks; sehing-ga dapat dibedakan menjadi: dilalah al-ibarah, dilalah al-isyarah, dilalah an-nash dan dilalah al-iqtidla’.
Bagi Muhammadiyah, pendekatan bayani ini tetap sangat diperlukan dalam rangka komitmennya yang konsisten kepada teks, yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah al-Maqbulah, meskipun tidak harus berlebihan.
Pada tulisan-tulisan tentang manhaj tarjih terdahulu, penulis telah berupaya mengemukakan tentang; amar dan nahyi, ‘am dan khash, maka pada kali ini penulis mencoba menjelaskan ten-tang al-muthlaq dan al-muqayyad. Dan muthlaq wal muqayad merupakan salah satu metode dalam rangka menggali hukum yang telah disepakati oleh ulama
Pengertian al-Muthlaq dan al-Muqayyad
Muthlaq berarti umum, tidak terikat (Ahmad Warson Munawir, Kamus Arab Indonesia: 862), sedangkan secara difinitif ada beberapa definisi yang dita-war-kan oleh para ulama Ushuliyyun. Misal-nya Muhammad Khudarî Bek mem-berikan difinisi: “Muthlak adalah lafaz yang memberi petunjuk terhadap satu atau beberapa satuan yang mencakup tanpa ikatan yang terpisah secara lafzi.”
“Tidak ada nikah melainkan dengan wali dan dua orang saksi yang adil”
(HR. Al-Bayhaqi).
Sedang Al-Amidi (w. 631 H) mendefi-nisikannya sebagai berikut: “Lafaz yang memberi petunjuk kepada yang diberi petunjuk (madlul) yang mencakup dalam jenisnya.” Ibn Subki (w. 771 H) mendifinisikannya sebagai berikut: “Muthlak adalah lafaz yang memberi petunjuk kepada hakikat sesuatu tan-pa ada ikatan apa-apa.”
Meskipun para ulama ushul fiqih mendefinisikan konsep muthlaq dengan berbeda-beda, namun pada intinya mere-ka sepakat untuk menyatakan bah-wa muth-laq itu ialah penunjukan lafal ter-hadap suatu entitas, sebagaimana ada-nya, yakni menunjuk kepada satuan yang ter-sebar pada jenisnya, tidak dilekati se-cara lafzhiy dengan qayd yang memba-tasi ketersebarannya (A. Wahâb Abdus Salâm Thawîlah, Atsar al-Lughah fî Ikhtilâf al-Mujtahidîn: 409).
Contohnya, lafal raqabah dalam surat Al-Mujaadalah [58] ayat 3: “Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, ke-mudian mereka hendak menarik kem-bali apa yang mereka ucapkan, ma-ka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah, yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Ma-ha Mengetahui apa yang kamu kerja-kan.”
Dan juga lafal waliy dalam Hadits: “Tidak ada nikah melainkan dengan wali dan dua orang saksi yang adil” (HR. Al-Bayhaqi).
Lafal raqabah dan waliy itu disebut secara ithlâq (lafaz muthlaq); di samping mencakup entitas (afrâd)-nya yang banyak masing-masing menunjuk kepada satu raqabah yang tidak tertentu di antara berbagai jenis raqabah dan satu wali yang tidak tertentu di antara berbagai jenis wali.
Lafal muthlaq dari segi meliputi sejumlah afrâd-nya, adalah sama dengan lafal ‘âm, namun antara keduanya terda-pat perbedaan yang signifikan. Lafal ‘âm itu umumnya bersifat syumuli (meling-kupi), sedangkan keumumam lafal muth-laq bersifat badali (meng-ganti). Umum yang bersifat syumuli itu adalah kulli (ke-seluruhan) yang berlaku atas semua satu-an, sedangkan ‘âm badali adalah kulli da-ri segi tidak terha-lang untuk menggam-barkan terja-dinya kebersamaan, tapi tidak meng-gambarkan setiap satuan-satuan, ha-nya meng-gambarkan satuan yang me-liputi.
Para ulama usul fiqih juga mendi-fini-sikan konsep muqayyad (yang di-ikatkan pada sesuatu) dengan ber-beda-beda, yang pada intinya ialah penun-jukan lafal ter-hadap suatu entitas yang dilekati atri-but tertentu yang mengurangi jangkauan ketersebarannya atau terha-dap suatu enti-tas yang terbatas. Con-toh–nya lafal ra-qabah mu’minah dalam surat An-Nisa [4] ayat 92; di mana kata raqabah dilekati de-ngan atribut mu’-minah, sehingga yang dituntut ialah pembebasan raqa-bah mu’minah (budak yang muk-min), bukan semba-rang raqabah (budak).
Contoh lainnya, lafal syahraini mutatabi’aini (dua bulan berturut-turut) dalam surat An-Nisaa’ [4] ayat 92; di mana kata syahraini (dua bulan) dilekati dengan atribut muta-tabi’aini (berturut-turut). sehingga, yang dituntut ialah berpuasa syahraini mutatabi’aini (dua bulan ber-turut-turut), bukan sembarang puasa dua bulan semata (syahraini) (Mustafâ Said Al-Khîn, Atsar Ikhtilâf fî al-Qawâid al-Ushûliyyah ala Ikhtilâf al-Fukahâ’: 248).
Sedangkan at-taqyîd adalah suatu upa-ya memahami makna ungkapan muth-laq dalam suatu nash dengan meng–hubungkannya kepada ungkapan mu-qay-yad pada nash lain. Qayyîd itu ada yang berbentuk sifat seperti contoh bu-dak mukmin, dan juga qayyîd dalam ben-tuk syarat, seperti contoh puasa dua bu-lan berturut-turut.
Perbedaan antara muthlaq dan mu-qay–yad itu adalah, bahwa muthlaq me-nunjuk kepada hakikat sesuatu tanpa ada suatu keterangan yang mengikatnya dan tanpa memerhatikan satuan serta jum-lah. Sedangkan, muqayyad menun-juk kepada hakikat sesuatu tetapi mem-per-hatikan beberapa hal, baik jum-lah, atau sifat dan keadaan. Hal, sifat, kea-da-an atau jumlah itulah yang disebut de-ngan qayyîd.?
No comments:
Post a Comment